Sabtu, 20 Desember 2014

SYIRKAH

SYIRKAH

Makalah Ini di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas 
Mata Kuliah Fiqih Muamalah




Dosen pembimbing :
Drs. M. Nur Anandomo, MA

Oleh : 
Tri Novita Sari
11211202696

Yarni Sartika
11211201386

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2014




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami kehadirat Allah SWT. Karena atas berkah dan rahmat-Nya saya bisa menyelesaikan makalah ini.
Dalam kehidupan ini kita di diharuskan utuk mempelajari masalah tentang FIQIH MUAMALAH, didalam ilmu fiqih terdapat banyak sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan di dunia ini, di antaranya yang saya bahas ini yaitu tentang “SYIRKAH”. Syirkah adalah salah satu hukum yang mempelajari tentang perkongsian atau kerjasa antara dua orang atau lebih dengan maksud dan tujuan yang sama agar tercipta keharmonisan dalam kerjasanya.
Kami menyadari bahwa makalah yang buat ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya mengharapkan kritik dan sarannya untuk kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, Januari 2014

Penulis


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang 

Masalah Syirkah merupakan bentuk kerja sama yang terdiri dari dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Syirkah juga merupakan salah satu Mu’amalat dalam islam yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama manusia untuk memenuhi keperluanya sehari-hari.
Dalam melakukan syirkah ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang mau bersyirkah serta ada keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh.oleh orang yang bersyirkah dan cara kerjasamanya.

B.     Rumusan Masalah 

1.      Apa pengertian syirkah ?
2.      Apa dalil yang berkenaan dengan syirkah ?
3.      Apa saja pembagian syirkah?



PEMBAHASAN

A.  Pengertian Syirkah

Kata syirkah dalam bahasa arab dari kata syarika (fiil madhi), yasyraku (fiil mudhari’), syarikan yang artinya menjadi sekutu atau serikat.[1]Secara etimologi syirkah berarti percampuran.[2] Dan syirkah menurut syri’at adalah suatu akad antara dua orang atau lebih yang sepakat melakukan usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.[3]. Sedangkan secara terminologi Syirkah atau musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana setiap pihak memberikan konstribusi dana denagan kesepakatan  bahwa keuntungan dan resiko (kerugian) akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[4]
Pengertian syirkah menurut istilah, para fuqaha berbeda pendapat :
1.      Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan syirkah ialah akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntungan.
2.      Menurut Muhammad al-Syarbini al-Khatib, yang dimaksud dengan syirkah adalah ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang mahsyur (diketahui).
3.      Menurut Syihab al-Din al-Qalyubi wa Umaira. Syirkah adalah penetapan hak pada sesuatu bagi dua orang atau lebih.
4.      Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie, bahwa yang dimaksud dengan syirkah ialah akad yang berlaku antara dua orang atau lebih untuk taawun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi keuntungannya.
5.      Menurut imam Taqiyyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al-husaini, yang dimaksud dengan syirkah adalah ibarat penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang diketahui.
6.      Idris Ahmad menyebutkan syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang dengan menyerahkan modal masing-masing, dimana keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.[5]
7.      Menurut ulama malikiyah asy-syirkah adalah “suatu keizinan untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
8.      Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah asy-syirkah adalah “hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati.
9.      Menurut Hanafiyah asy-syirkah adalah “akad yang dilakukan orang-orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.[6]
Menurut kami perbedaan tersebut hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung di dalamnya adalah sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam perdagangan. Dengan adanya akad asy-syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan persetujuan yang disepakati.
Dari perbedaan-perbedaan pendapat mengenai syirkah yang dikemukakan oleh para ulama, maka dapat saya simpulkan syirkah itu adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dibidang bisnis (usaha) yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama-sama.
Sedangkan menurut Muhammad Iqbal Qadir yang saya baca dari kitab Al-Muwaththa’ karya Imam malik, bahwa perserikatan dalam komoditas bahan makanan ataupun komoditas lainnya, baik barang tersebut berada ditangan ataupun tidak perserikatan tetap boleh dilakukan jika dibayar secara tunai tanpa keuntungan, barang tidak hilang ataupun tanpa pembayaran tunda.

B. Landasan Syirkah 
 
Akad asy-syirkah dibolehkan, menurut para ulama fiqh, berdasarkan kepada firman Allah dalam surat an-Nisa’ : 12
Artinya : maka mereka berserikat dalam sepertiga harta
Dan dalam hadits Nabi :
Artinya : “Dari abu hurairah, ia menyandarkan kepada Nabi SAW, ia mengatakan, sesungguhnya Allah telah berfirman : Aku menjadi pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah satu dari keduanya tidak menghianati sahabatnya, apabila ia menghianatinya maka Aku keluar dari antara mereka” (HR.Abu Daud)[7]

Dan dalam hadits lainnya,
Artinya : Kekuasaan Allah senantiasa berada pada dua orang yang bersekutuselama keduanya tidak berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah Berfirman :
( ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# ×@Î=s%ur $¨B öNèd 3 ) ÇËÍÈ
Artinya : “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". (Q.S Shad : 24)

C.    Pembagian Syirkah

Para ulama fiqih membagi syirkah kedalam dua bentuk, yaitu syirkah amlak (perserikatan dalam pemikiran) dan syirkah uqud (perserikatan berdasarkan suatu aqad.
1.      Syirkah al-Amlak
Syirkah dalam bentuk ini, menurut ulama fiqih adalah dua orang atau lebih memiliki harta bersama tanpa melalui atau didahului oleh aqad syirkah. Syirkah al-amlak ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Syirkah ikhtiar (perserikatan dilandasi pilihan orang yang berserikat) yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua ornag bersepakat membeli suatu barang, atau mereka menerima harta hibah, wasiat, atau waqaf orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah, wasiat dan waqaf itu menjadi milik mereka secara berserikat.
b.      Syirkah jabar (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat) yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih, tanpa kehendak dari mereka, seperti harta warisan yang mereka terima dari orang yang wafat.[8]
2.      Syirkah al-Uqud
Syirkah dalam bentuk ini maksudnya adalah akad yang disepakati dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri dalam perserikatan modal dan keuntungannya .Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqih tentang bentuk-bentuk serikat yang termasuk kedalam syirkah al-uqud ini.[9]
Di samping itu, setiap bentuk perserikatan yang termasuk ke dalam syirkah al-‘uqud, mempunyai syarat-syarat khusus. Syarat-syarat khusus untuk syirkah al-amwal adalah modal perserikatan itu jelas dan tunai, bukan berbentuk utang masing-masing pihak yang berserikat harus disatukan? Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, berpendirian bahwa modal itu tidak harus disatukan, karena transaksi perserikatan itu adalah kerja.
Di samping itu, menurut mereka, akad perserikatan mengandung makna perwakilan dalam bertindak hukum dan dalam akad perwakilan dibolehkan modal masing-masing pihak tidak disatukan. Oleh sebab itu, dalam akad asy-syirkah dibolehkan juga tidak menyatukan/mencampurkan modal masing-masing pihak yang berserikat.[10]
Secara garis besar menurut fuqaha Amshar, serikat (persekutuan / perseroan) itu dibagi menjadi empat : serikat ‘inan, serikat mufawidhah, serikat abdan dan serikat wujuh . yang telah disepakati oleh fuqoha adalah serikat ‘inan, meski sebagian mereka tidak mengenal kata tersebut dan memperselisihkan beberapa syaratnya, sedangkan tiga serikat lainnya masih diperselisihkan pula tentang sebagian syarat-syaratnya.[11]

a.       syirkah ‘inan

syirkah ‘inan adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua belah pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian yang sebagaimana disepakati antara mereka. Namun porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun bagi kerja atau bagi hasil, berbeda sesuai dengan kesepakatan mereka.[12]
Syirkah ’inan secara sederhana di artikan dengan ”kerja sama dalam modal dan usaha”. Secara lengkap mengandung arti kerja sama beberapa orang pemilik modal dengan cara masing-masing menyertakan modalnya dan bersama dalam usaha, baik dalam perdagangan atau industri, yang keuntungan yang di peroleh di bagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Dari batasan ini dapat di pahami bahwa kerja sama dalam modal saja atau dalam tenaga saja; atau kerja sama modal di satu pihak dan usaha di pihak lain, tidak di sebut syirkah’inan.
Dalam syirkah ’inan ini yang di perlukan adalah perjanjian atau akad pihak-pihak yang melakukan kerja sama dengan cara yang menunjukan bahwa kerja sama telah terjadi secara suka sama suka. Yang berkenaan dengan modal, modal itu harus dalam bentuk uang atau yang dapat di nilai dengan uang, yang jumlahnya jelas meskipun tidak mesti sama antara satu dan lainnya. Demikianlah pua usaha masing-masing harus jelas, meskipun tidak sama. Keuntungan di bagi berdasarkan perjanjian yang telah di sepakati dan di relakan bersama, yang jumlahnya di perhitungakan berdasarkan modal dan usaha.[13]
Rukun serikat ‘inan ini ada tiga, yaitu: macam (obyak) modal, kadar keuntungan dari kadar harta yang diserikatkan dan kadar pekerjaan dari kedua perserikat berdasarkan kadar besarnya modal.
1)      Obyek modal
Mengenai obyek harta modal, diantaranya ada yang disepakati oleh para fuqaha dan ada pula yang diperselisihkan. Kaum muslimin sependapat bahwa serikat dagang itu diperbolehkan pada satu macam jenis yaitu dinar dan dirham, meski pada dasarnya serikat ‘inan itu bukan merupakan jual beli yang terjadi secara tunai. Dan disepakati juga oleh para fuqoha yang mempersyaratkan tunai pada jual beli dengan emas dan dirham. Akan tetapi ijma’ telah mengkhususkan makna ini dalam syirkah.
Kemudian mereka berselisih pendapat tentang serikat dengan dua macam barang yang berbeda dan dengan mata uang yang berbeda pula. Seperti serikat dengan mata uang dinar dari satu pihak dan dengan mata uang dirham dari pihak lain. Juga dengan makanan ribawi apabila terdiri dari satu macam , dan disini ada tiga masalah :
a)      Berserikat dengan dua macam modal yang berbeda.
Jika kedua belah pihak berserikat dagang dengan bermodalkan dua macam barang, atau dengan barang dan uang dinar atau dirham, maka cara seperti ini diperbolehkan oleh ibnul Qasim sedangkan Malik memakruhkan cara seperti itu.[14] Adapun sebab ketidak sukaan Imam Malik adalah karena terkumpulnya syirkah dan jual beli dan hal tersebut adalah dua benda yng berbeda, salah satu dari dua orang menjual sebagian bendanya dengan sebagian benda yang lain. Malik memperhitungkan nilai dalam benda apabila terjadi syirkah padanya.[15]
Adapun menurut imam Asy-Syafii, serikat dagang demikian tidak sah kecuali berdasarkan harga barang. Menurut Abu Hamid, alasan mazhab syafii mengharamkan serikat dagang seperti itu karena seperti qiradh, dalam arti tidak boelh terjadi kecuali dengan dirham dan dinar. Menurut qiyas abu Hamid, pemilikan bersama pada serikat dagang itu sama artinya dengan percmpuran.
b)      Modal yang tidak boleh mengalami tenggang waktu.
Jika kedua macam barang dari kedua perserikat termasuk barang yang tidak boleh mengalami tenggang waktu, seperti serikat diurham dengan salah satu dengan serikat dinar dsri pihak yang lain atau dengan dua macam makanan yang berbeda, maka menurut imam malik masalah ini tidak jelas.
c)      Modal satu jenis makanan.
Ibnul Qasim membolehkan serikat dagang dengan makanan yang terdiri dari satu jenis.
2)      Pembagian keuntungan
Fuqaha sepakat bahwa keuntungan itu mengikuti modal, yakni apabila masing-masing persertikat menyetor modal yang nilainya sama maka keuntungan dibagi dua.
3)      Usaha
Menurut imam malik, sesuatu usaha itu mengikuti harta dan tidak dianggap berdiri sendiri. Tetapi menurut abu hanifah usaha itu bersama-sama dengan harta.

b.      Syirkah mufawidhah
Syirkah mufawidhah adalah kontrak kerja sama antar dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan partisipasi dalam kerja, setiap pihak membagikan keuntungan secara sama.
Dari segi ini bentuk syirkah mufawadhah ini menyerupai syirkah’inan, namun dalam bentuk kerja sama ini di syaratkan sama dalam modal dan sama pula dalam berusaha. Dalam berusaha setiap mewakili pihak lain atau menerima limpahan wewenang dari pihak lain, sedangkan ke untungan dibagi sesuai dengan kadar modal dan usaha yang di sertakannya.
Hukum syirkah mufawadhah ini tidak di sepakati oleh ulama. Sebagian ulama membolehkannya dengan menyamakannya dengan syirkah ’inan. Dalil kebolehannya mengikuti dalil-dalil sebagaimana yang di sebutkan di atas. Ulama yang tidak membolehkannya melihat dari segi tidak bersamanya dalam usaha dapat menimbulkan penipuan yang menghilangkan rasa suka. Berbedanya pendapat ulama dalam memandang syirkah bentuk ini karena tidak adanya petunjuk yang jelas, pasti dan rinci dari Nabi tentang syirkah melalui hadits-haditsnya.

c.       Syirkah abdan (amal)
Syirkah abdan adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.[16] Syirkah abdan
Perserikatan jenis ini yaitu perserkatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama. perserikatan ini dilaksanakan oleh dua pihak untuk menerima suatu pekerjaan, seperti pandai besi, service alat-alat elektronik, laundry, dan tukang jahit. Hasil atau imbalan yang diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka berdua. Terhadap boleh atau tidaknya bentuk perserikatan inipun diperselisihkan para ulam fiqh. Menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah dan Zaidiyah hukumnya boleh, karena tujuan utama perserikatan ini adalah mencari keuntungan dengan modal kerja bersama[17]
d.      Syirkah wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang tidak memiliki modal sama sekali tetapi mempunyai keahlian bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra.[18]
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam. [19]Kata wujuh di sini mengandung arti wibawa dan kepercayaan. Bentuknya adalah dua orang atau lebih dari orang-orang yang di segani oleh masyarakat dan mendapat kepercayaan dari pedagang, namun tidak memiliki modal usaha, sama-sama memperoleh barang dagangan dari pemilik barang untuk di perdagangkan. Orang-orang yang sama mendapat kepercayaan ini bekerja sama dalam berdagang dan berbagi dalam keuntungan. Sebenarnya dari segi mereka bekerja sama dalam usaha saja, dapat di kelompokan pada serikat usaha. Namun karena usaha ini berkenaan dengan menggunakan modal orang lain dalam bidang perdagangan, bentuk ini menyerupai mudharabah. Secara khusus tidak di temukan hadits Nabi tentang kerja sama dalam bentuk ini, tetapi juga tidak di temukan dalil yang melarangnya. Dalam hal ini di ambil prinsip umum bahwa segala bentuk muamalah yang tidak di temukan larangannya secara khusus, telah di lakukan scara kerelaan bersama dan tidak ada pihak lain yang di rugikan, usaha adalah boleh.[20]

D.    Mengakhiri Syirkah

Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal berikut.

1.      Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya sebab syirkah adalah akad yang terjadi atas dasar rela sama rela dari kedua belah pihak yang tidak ada kemestian untuk dilaksanakan apabila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan syirkah oleh salah satu pihak.
2.      Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian mengelola harta), baik karena gila maupun karena alasan lainnya.
3.      Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meninggal saja. Syirkah berjalan terus pada anggota-anggota yang masih hidup. Apabila ahli waris anggota yang meninggal menghendaki turut serta dalam syirkah tersebut, maka dilakukan perjanjian baru bagi ahli waris yang bersangkutan.
4.      Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampunan, baik karena boros yang terjadi pada waktu perjanjian syirkah tengah berjalan maupun sebab yang lainnya.
5.      Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah.
6.      Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah. Bila modal tersebut lenyap sebelum terjadi percampuran harta hingga tidak dapat dipisah-pisahkan lagi, yang menanggung resiko adalah para pemiliknya sendiri. Apabila harta lenyap setelah terjadi percampuran yang tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, menjadi risiko bersama. Apabila masih ada sisa harta, syirkah masih dapat berlangsung dengan kekayaan yang masih ada.[21]
Perserikatan dalam kedua bentuknya di atas yaitu syirkah al-amlak dan syirkah al-‘uqud mempunyai syarat-syarat umum, yaitu :
1.      Perserikatan itu merupakan transaksi yang boleh diwakilkan. Artinya, salah satu pihak jika bertindak hukum terhadap obyek perserikatan itu, dengan izin pihak lain, dianggap sebagai wakil seluruh pihak yang berserikat.
2.      Persentase pembagian keuntungan untuk masing-masing pihak ynag berserikat dijelaskan ketika berlangsungnya akad.
3.      Keuntungan itu diambilkan dari hasil laba harta perserikatan, bukan dari harta lain.
Syarat-syarat umum ini berlaku bagi syirkah al-inan dan syirkah al-wujuh. Sedangkan syarat khusus untuk masing-masing syirkah al-amlak di bahas dalam bab wasiat, hibah, wakaf, dan waris.[22]

E.     Rukun dan Syarat-syarat Syirkah

1. Rukun syirkah
a.       Ada siqhotnya ( lafaz akad )
b.      Ada orang yang ber syirkah
c.       Ada pokok perkerjaanya

2. Syarat-syarat syirkah
a.       Syarat lafaz Kalimat akad hendakalah mengandung arti izin buat menjalankan barang perserikatan. Umpamanya salah seorang di antara keduanya berkata,” kita bersyirkah pada barang ini dan saya izinkan engkau menjalangkanya dengan jalan jual beli dan lain-lain. ” jawab yang lain,” saya terima seperti yang engkau katakan itu.”
b.      Syarat menjadi anggota perkongsian 
1)      Berakal
2)      Baligh ( berumur 15 tahun )
3)      Merdeka dan dengan kehendaknya sendiri ( tidak dipakssa )

  • Syarat modal perkongsian 
Modal hendaklah berupa uang ( emas atau perak ) atau barang yangØ ditimbang atau di takar, minsalnya beras,gula, dan lain-lain.  Dua barang modal itu hendaklah di campurkan sebelum akad sehinggaØ antara kedua bagian barang itu tidak dapat di bedakan lagi. Modal dan kerja tidakperlu sama. Seseorang boleh memberi modal Rp. 100.000,- dan yang lainya Rp. 50.000,- begitu juga kerjanya, tidak berhalangan bila salah seorang berkerja satu hari sedangkan yang lain setengah hari, asal berdasarkan hasil mufakat antara keduanya pada waktu akad.[23]

F.     Keuntungan dan Kerugian dalam Bersyirkah dan Perkerjaannya

1.      Keuntungan dan kerugian dalam bersyirkah Untung dan rugi di atur dengan perbandingan modal harta syirkah yang di berikannya.[24] Sebagian ulama berpendapat bahwa keuntungan dan kerugaian mesti menurut perbadingan modal. Apabila seseorang bermodal Rp. 100.000,- sedangkan yang lainya hanya Rp. 50.000,- maka yang pertama mesti mendapat 2/3 dari jumlah Keuntungan, dan yangkedua mendapat 1/3 nya. Begitu juga kerugian mesti menurut prbandingan modal masing-masing. Akan tetapi, sebagian ulama berpendapat tidak mesti sama menurut perbadingan modal, boleh berlebih – berkurang menurut perjanjian antara keduanya waktu mendirikan perusahaan ( perserikatan )[25].
2.      Perkerjaan Orang yang berkerja. Harus berkerja dengan ikhlas dan jujur, artinya semua perkerjaan harus berasas kemaslahatan dan keuntungan terhadap kerja samanya. Ia tidak boleh membawa barang keluar negeri kecuali dengan izin anggota-anggotanya juga tidak boleh menyerahkan barang kepada orang lain, tetapi apabila timbul penghiantan dari seorang atau lebih diantara mereka maka Allah akan mencabut kemajuan persyerikatan mereka. Dalam hadis qudsi dinyatakan sebagai berikut ini. Artinya : Dari Abu Hurairah R.a. ia berkata : Rosullullah SAW. Bersabda :” Allah taa alaa berfirman ” : Aku adalah ketiga dari 2 orang yang berserikat dagang, selama yang seseorang tidak berkhianat / menghanati kawanya. ( H.R Abu Daud dan hadis ini di nilai shahih oleh Al – Hakam ).[26]

  
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Syikah adalah kerjasama dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberi kontribusi dana atau modal/amal dengan kesepakatan bahwa keuntunmgan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

B.     Saran

Semoga dengan adanya makalah ini akan menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca dan khususnya bagi penulis tentang syirkah dan penerapanya dalam kehidupan sehari-hari.



[1] Kamus Al-Munawwir, hlm 765
[2]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 3 (Pustaka Amani, Jakarta, 2002) hlm, 143
[3] An-Nabhani, 1990: 146
[4] Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, (Raja Grafindo Persada, 2008) hlm, 121
[5] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008) hlm, 126
[6] Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007) hlm, 166
[7] Syaikh Faishal bin Abdul Aziz, Ringkasan Nailul Authar, (Bandung, Pustaka Azzam, 2006) hlm 162
[8] Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Gaya Media pratama, Jakarta, 2007) hlm, 167
[9] Ibid, hlm 168
[10] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008)
[11] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 3, (Pustaka Amani, Jakarta,2002) hlm, 143
[12] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 2, (Pustaka Azzam, Jakarta,2007) hlm, 496
[13] ( Amir Syarifuddin : 2010:hal: 247-249 )
[14] Op. cit, hlm 144
[15] Log. Cit hlm 497
[16] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 2, (Pustaka Azzam, Jakarta,2007) hlm, 475
[17] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008) hlm 130
[18] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Jilid 2, (Pustaka Azzam, Jakarta,2007) hlm, 476
[19] Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66.
[20] Op.cit hlm 251
[21] Narun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta, GMP,2007) hlm, 165
[22] ibid
[23] H. Sulaiman Rasyid:2008 : hal : 297-298
[24] Al- Hafizh : 2007 : hal : 396  
[25] . H. Sulaiman Rasyid:2008 : hal : 298
[26] Op. cit